Selasa, 23 Oktober 2012

Tari Dolalak

Kabupaten Purworejo memiliki salah satu tari kerakyatan yang menjadi ciri khas yaitu tari dolalak. Awal mula kehadirannya tidak diketahui secara pasti, tapi sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Tari dolalak tercipta dari inspirasi perilaku serdadu Belanda pada saat beristirahat di barak/camp. Para serdadu tersebut beristirahat sambil menikmati minuman keras, ada juga yang menyanyi dan berdansa ria. Aktifitas sehari-hari para serdadu di kamp ditiru oleh para pengikutnya yang kebanyakan pribumi, oleh sebab itu terciptalah tari dolalak yang bentuknya sederhana dan berulang-ulang.
Kondisi saat ini, tari dolalak dilakukan oleh para remaja putri yang berpakaian mirip serdadu Belanda dan puncaknya digambarkan saat penari kerasukan (mendem). Alat pengiring musik yang digunakan, antara lain : Kendang, rebana dan bedug, sedangkan syair-syairnya mengenai keagamaan, pendidikan dan juga berbagai kritik dan sindiran. Tari ini dapat dilakukan bersama penonton, sehingga bisa disebut sebagai tari pergaulan. Tari dolalak yang ada di Kabupaten Purworejo mempunyai berbagai ragam sesuai dengan daerah asalnya, misalnya : Gaya Kaligesingan, Mlaranan, Sejiwanan dan Banyuuripan.
Tari dolalak berasal dari kata “do” dan “la-la” yang dimaksud not balok dari do, re, mi, fa, sol, la, si, do, menurut pendengaran penduduk pribumi sesuai lidah jawa berubah menjadi dolalak.
Sekitar tahun 1940, tari ini oleh rakyat Indonesia diciptakan sebagai misi keagamaan dan politik untuk memerangi Belanda. Tari ini dipentaskan pada saat-saat tertentu, yaitu : Acara mantu, sunatan dan syukuran. Biasanya warga mengundang grup tertentu yang disebut nanggap (Bahasa Jawa), tari ini dilakukan menjelang hajatan, yaitu pada malam hari semalam suntuk. Dalam perkembangan selanjutnya Kabupaten Purworejo memperhatikan perkembangannya kemudian mengangkat kesenian ini lewat penataran dan seminar tentang tari dolalak. Bahkan dolalak dijadikan muatan lokal dalam pendidikan dasar. Perhatian pemerintah juga tampak dengan memberikan alat dan kostum, sehingga kini dolalak sudah terkenal sampai di TMII yang pernah pentas di Anjungan Jawa Tengah. Seiring berjalannya waktu kemudian dolalak menjadi aset mata pencaharian tambahan bagi penari dan pengiring grup tersebut, sebab pada musim pernikahan banyak menampilkan tari dolalak untuk meramaikannya.
Sebagai seni pertunjukan, dolalak mengandung 4 unsur seni, yaitu : Gerak (tari), seni rupa (busana dan aksesoris), seni suara (musik) dan seni sastra (syair lagu) :
  • Gerak tari dolalak merupakan gerak keprajuritan didominasi oleh gerak yang rampak dan dinamis, mirip gerakan bela diri pencak silat yang diperhalus. Gerakan “kirig” (gerakan bahu yang cepat pada saat-saat tertentu) merupakan ciri khas dolalak yang tidak didapati pada tarian lain. Penelitian Prihartini membagi tari dolalak menjadi tiga bagian, yaitu : Tari kelompok, tari pasangan, dan tari tunggal. Tari tunggal biasanya diikuti kesurupan (trance), sehingga penari mampu menari hingga berjam-jam. Pada perkembangannya tari dolalak dimodifikasi sehingga bisa dilakukan hanya 15 menit.
Dalam tari terdapat berbagai macam istilah, yaitu : Gerak kaki (adeg, tanjak, hoyog, sered, mancat, gejug, jinjit, ngentrik, ngetol, engklel, sing, ngetol, pencik, kesutan, sampok, jengkeng dan sepak). Gerak tangan (ngruji, taweng, ngregem, malangkerik, ukel, ukel wolak-walik, tepis, jentus, keplok, enthang, siak, kesutan grodha, miwir sampur, ngithir sampur, bapangan wolak-walik, atur-atur, cathok, mbandhul, cakilan dan tangkisan). Gerak tubuh/badan (ogek, entrag dan geblag). Gerak leher(tolehan, lilingan dan coklekan) gerak bahu (kirig dan kedher).
  • Busana : Kostum tradisional dolalak menggunakan baju lengan panjang hitam dan celana pendek hitam dengan pelisir “untu walang” pada tepinya, Serta aksesorius kuning keemasan pada bagian dada dan punggung ditambah topi pet hitam dengan hiasan dan kaos kaki panjang, tapi saat ini dimodifikasi pada celana pendek yang dahulu di atas lutut menjadi di bawah lutut. Bahkan ada juga yang dimodifikasi dengan gaya muslim dengan berkerudung, tapi aksesorisnya tetap sama. Memakai sampur pendek yang diikat di sebelah kanan saja.
Musik : semula hanya acapela, dalam perkembangannya diiringi dengan lagu dan tembang seerta iringan solawat jawa dan dilengkapi juga dengan bedug, kendang, terbang, kecer dan organ. Musiknya beragam dari vocal “bawa” sebagai lagu pembuka hingga lagu parikan atau pantun yang menggunakan bahasa melayu lama dan sebagian bahasa jawa bahkan bahasa arab. Bahkan sekarang masuk juga lagu jenis pop, dangdut dan campursari.
  • Syair lagu bertema mengenai agama, sindiran sosial, kegembiraan dan nasihat kehidupan ada juga yang bernuansa romantis yang dinyatakan dengan pantun atau parikan.
Dansa (tari gaul gaya barat ) dengan iringan lagu membangkitkan inspirasi beberapa warga pribumi untuk menirunya menjadi tari dolalak. Menurut penelitian Prihatini (2000) nama mereka adalah Rejotaruno, Duliyat dan Ronodimejo untuk menirunya. Dari hasil survei jurusan sejarah FKIP IKIP Semarang (1971) mencatat bahwa akar kesenian dolalak tumbuh pada masa perang Aceh (1873-1904). Untuk menghibur diri pasukan Belanda yang ditugaskan di Aceh membuat tari keprajuritan , dengan barisan dan cakepan atau nyanyian yang berbentuk “pernesan” atau sindiran serta dengan pakaian ala Belanda dan Perancis. Ketika Purworejo menjadi basis militer Belanda kesenian itu juga makin berkembang luas. Menurut salah satu sumber di internet (javapromo.com, 2007) yang dikemukakan oleh Tijab pimpinan grup dolalak dusun Giri Tengah Borobudur mengatakan bahwa dolalak berasal dari kata “Duh allah” dan lahirnya seni dolalak, karena adanya kisah pasukan Srikandi yang membantu Nyai Ageng Serang pada saat perang Diponegoro. Pasukan wanita tersebut berada dipimpin Ambarsari dan Roro Ayu Tunggalsari.
Pada awal kehadirannya sampai tahun 1970 dolalak merupakan kesenian rakyat yang berfungsi sebagai penghibur pada kegiatan hajatan masyarakat desa. Pada dekade 1970 ketika pemerintah mulai menggalakkan kesenian daerah sebagai aset wisata dan mulai ada bantuan dan pembinaan dari pemerintah. Atas prakarsa Bupati Soepanto (1975) yang menganjurkan kaum wanita bisa menjadi penari dolalak mendapat respon yang positif, sehingga muncul grup-grup dolalak di tingkat kecamatan dan mencapai puncaknya pada dekade 1980 –an. Bahkan pada tahun 80-an terjadi perubahan yang signifikan, kemudian para penari yang tadinya lelaki diganti menjadi wanita yang diawali dengan grup dolalak dari Dusun Teneran Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing, pada saat ini berkembang pesat grup dolalak yang penarinya wanita.
Isi lain yang perlu diungkap adalah “mantra” yang digunakan oleh sesepuh grup dolalak ketika mengendalikan kekuatan gaib yang merasuki penari dolalak. Sebelum grup dolalak menari telah disediakan sesaji bunga setaman minimum 3 macam, minuman (teh, kopi dan air putih), kelapa muda, pisang dan jajan pasar, alat kecantikan (bedak, lipstik, kaca pengilon/cermin, sisir dan minyak wangi), kinang, sirih dan kapur sirih. Semuanya itu disajikan untuk penari yang kerasukan/mendhem. Dalam kondisi menari mereka bisa totalitas dan bahkan kadang dapat melakukan hal- hal yang aneh dan di luar kebiasaan.
 
 
Artikel terkait :

Tidak ada komentar:

Arsip Komentar

Yvette commented on riwayat sejarah: “Selamat tinggal, Nama saya Yvette dan saya tinggal di Belanda. Saya menemukan blog Anda melalui…”
Tomatmaniz commented on ketua rt 06: “Selamat mengemban tugas Bapak Triyatno smg amanah ,sehat selalu,semangat🫰🏼🥳”
Anonymous commented on progres pembangunan 2021: “Assalamuallaikum bpk/ibu Saya dari AB07 KARPET mau nawarin karpet masjid.bisa pasang dilokasi…”
Argopeni Kutoarjo commented on progres pembangunan 2021: “Aamiin...”
Argopeni Kutoarjo commented on khitanan massal ke 7 1439 h: “Khitanan massal 2019 sudah dimuat di…”